Selasa, 03 Maret 2015

Paper Hukum Islam Mu'amalah Pernikahan



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
                 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan kata nikah sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), dan perkawinan.
Pernikahan adalah penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan akad nikah. Pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada wali dari pihak calon pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi, dan ijab qabul. Disamping itu calon pengantin laki-laki memberi mahar atas persetujuan calon istri.
                 Pernikahan menurut islam bukan sekedar sarana pemenuhan kebutuhan biologis, tapi sekaligus bernilai pahala. Pernikahan adalah ibadah yang bernilai besar dan merupakan separuh dari agama.
Nabi SAW bersabda: “jika seseorang hamba menikah maka ia telah menyempurnakan sebagian agamanya, hendaknya ia bertaqwa pada Allah pada sebagian yang lain.” (HR. Ath Thabrani)
Text Box: 1                 Pernikahan adalah wajib bagi orang yang mampu dan siap untuk manjalankannya, ada juga yang mengatakan bahwa menikah itu haram hukumnya jika tidak dengan niat Ibadah. Dan ada beberapa hukum lagi menurut para ulama’ tentang pernikahan. Menikah itu bukan hannya sekedar menikah tetapi harus dengan niat Ibadah, banyak remaja zaman sekarang yang menikah hanya status tetapi didalam ia menjalani pernikahan tersebut tidak mengerti tentang tujuan dan hukum pernikahan yang benar. Dengan disusunnya paper yang berjudul Hukum Pernikahan Dalam Islam ini penulis berharap agar para remaja mengerti tentang pengertian, tujuan, dan hukum pernikahan dalam Islam agar mereka semua tidak menyimpang dari hukum Islam, dan penulis berharap semoga paper ini bermanfaat bagi para pembacanya.
           
1.2 Rumusan masalah
                 Sehubungan dengan latar belakang diatas, maka penulis menemukan beberapa rumusan masalah antara lain:
            1. Apakah pengertian pernikahan?
            2. Apa tujuan  pernikahan dalam Islam?
            3. Bagaimana hukum pernikahan dalam islam?

1.3 Tujuan penulisan
                 Adapun tujuan penulisan paper yang berjudul Hukum Pernikahan Dalam Islam adalah sebagai berikut:    
1. Mengetahui pengertian pernikahan.
            2. Mengetahui tujuan pernikahan dalam Islam.
            3. Mengetahui hukum pernikahan dalam islam.         





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pernikahan
An-nikah berasal dari kata nakaha-yankihu-nahkan-nikahan, yang bersinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwij-zawaaj. Lafadz nikah atau zawaj yang trdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, selalu diartikan dengan kawin atau mengawini. Beberapa contoh ayat tersebut adalah sebagai berikut:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَقْسِطُوْا فِي اْليَتَمَى فَانْكِحُوْا  مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وَرُبَعَ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى اَلّا تَعُوْلُوْا

“ Dan janganlah kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya “. (An-Nisa’:3)

Dan juga terdapat dalam surat yang sama (An-Nisa’) ayat 22, yaitu:
وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفْ إِنَّهُ، كَانَ فَحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيْلاًا
Text Box: 3“ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa’:22)

Nabi bersabda yang artinya:
            Yang artinya: “ Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu, maka kawinlah “. (HR. Jama’ah dari ibnu Mas’ud)

            Sedangkan arti perkawinan menurut NJ. Aisjah Dachlan dalam bukunya, yang berjudul membina rumah tangga bahagia dan peranan agama dalam rumah tangga (1969), adalah “Aqad antara calon istri untuk hidup bersama sebagai suatu pertalian suci antara pria dan wanita, dimana terdapat suatu persetujuan hubungan akrab, dengan tujuan menyelenggarakan kehidupan yang akrab pula, guna mendapat keturunan yang sah dan membina keluarga dan rumah tangga bahagia.”
            Namun, Prof. DR. Abu Zahra mendefinisikan pengertian dengan lebih luas yaitu:     Pernikahan itu adalah suatu aqad persetujuan antara seorang pria dan wanita, yang memfaedahkan halal pergaulan antara suami istri dan saling membantu antara keduanya, dimana masing-masing dari keduanya memperoleh hak dan kewajiban.

            Undang-undang nomor 1 tahun 1974 bab 1 pasal 1 menyatakan, “pernikahan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan ke-Tuhanan yang maha Esa.”
Didalam maqoshidu as-syriah ada yang disebut dengan perlindungan keturunan atau an-nasl, maka dari itu tuhan mensyariatkan adanya pernikahan, karena dengan adanya perkawinan akan memelihara kehormatan dan menghindarkan diri dari perbuatan zina, serta memelihara garis keturunan secara sah menurut agama. sebagaimana sabda nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya:
“ Hai pemuda-pemuda barangsiapa yang telah sanggup kawin, maka kawinlah, karena kawin itu dapat menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri “.

Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pernikahan bukan hanya untuk menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, namun juga untuk menjaga kehormatan serta memelihara garis keturunan.
            Pernikahan adalah suatu jalan yang halal bagi nafsu birahi, yaitu jalan untuk menenangkan hati dan jiwa, untuk menyalurkan gairah seks manusia, dan sebagai dasar pengakuan sah bagi keluarga dan masyarakat. Yang terpenting dari sebuah pernikahan adalah suatu jalan untuk memperbanyak jumlah orang-orang mukmin, yang kemudian hari, mereka dapat bersatu dan membuktikan adanya kemampuan mereka dalam membina keluarga yang saleh, yang dengan baiknya pendidikan tentu akan lebih banyak yang berbuat baik kepada kedua orangtua dan masyarakatnya.
            Pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada calon pengantin laki-laki dan perempuan, ada saksi dari calon pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi, ijab qobul, di samping itu calon pengantin laki-laki juga harus memberi mahar atas persetujuan calon istri.
Apabila menikah dilakukan dengan adanya saksi, tetapi tanpa sepengetahuan dan persetujuan ayah atau semisalnya maka itu hukumnya batal. Seperti sabda Nabi SAW, “ setiap wanita yang menikah dengan tanpa izin walinya,maka nikahnya batal, nikahnya batal.”

2.2 Tujuan Pernikahan Dalam Islam
           
Agama islam menganjurkan manusia jika telah mampu untuk segera menikah, karena nikah merupakan sunnah nabi dan petunjuknya. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka bukan golonganku”. (HR.Ibnu Majah).
            Allah telah berjanji bagi orang-orang yang menikah, bahwa Allah pasti akan menolongnya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “Tiga manusia yang Allah pasti akan menolong mereka, diantaranya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatannya.” (HR.Tirmidzi)
Sesungguhnya didalam pernikahan terdapat rahasia yang sangat besar sekali, dimana saat terlaksanakannya akad nikah akan tercapailah kasih sayang yang didapati oleh suami istri, dimana rasa kasih sayang tersebut tidak bisa didapati diantara dua orang sahabat kecuali setelah melalui pergaulan yang sangat lama. Makna semacam ini telah disinyalir didalam firman Allah SWT yang artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah, dia menciptakan untuk kalian-kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kamu condong dan merasa tenteram kepadanya. Dan dia jadikan rasa kasih sayang diantara kalian,”(QS Ar-Rum:21)
Sesungguhnya, persoalan menikah ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual saja.
 Adapun tujuan pernikahan dalam islam menurut para ulama’ adalah sebagai berikut:
1.  Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]

3. Untuk menegakkan Rumah tangga yang Islami
    dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq(perceraian) jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah SAW dalam ayat berikut:
الَطّلاَقُ مَرّتاَنِ فَأِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْتَسْرِيْحٌبِاِحْساَنٍ وَلاَيَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَاْخُذُوْامِماَّاَتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْءاًاِلاَّاَنْ يَّخاَفاَاَلاَّيُقِيْماَحُدُوْدَاللهِ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّيُقِيْماَحُدُوْدَاللهِ فَلاَجُناَحَ عَلَيْهِماَفِيْماَافْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدُاللهِ فَلاَتَعْتَدُهاَوَمَنْيَّتَعَدَّحُدُوْدَاللهِ فَاُولَءِكَ هُمُ الظَّلِمُوْن

 “Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepashkan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah SAW dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah SAW. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat diatas:
فَاِنْ طَلِّقَهاَ فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْ جاً غَيْرَهُ فَاِنْ طَلَّقَها فَلاَ جُناَحَ عَلَيْهِماَ اَنْ يتَرَا جَعاَ اِنْ ظَنَّ اَنْ يُقِيْماَ حُدُوْدَاللهِ وَتِلْكَ حُدُوْدُاللهِ يُبَيِّنُهاَ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ
“kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkannya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah:230]

Jadi, hal yang baik dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.
a. Kafa-ah menurut konsep Islam
pengaruh buruk matrealisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh, putra-putrinya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius, agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal pernikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami, InsyaAllah akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah SWT memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat Taqwanya.
b. Memilih calon istri yang shalihah
seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Sabda Rasulullah SAW yang artinya:”dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik dunia adalah wanita yang shalihah.”Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.
4. Untuk meningkatkan Ibadah kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT. Dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih disamping Ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami istri pun termasuk ibadah(sedekah). Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

 “... Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi SAW menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.”[8]

5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah SWT:
والله جَعَلَ لَكُمْ من انفسكم ازواجاوجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدةورزقكم من الطيبتَ افبالباطل يؤمنون وبنعمت الله هم يكفرون
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl:72]

Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin umat islam.





2.3 Hukum Pernikahan Dalam Islam
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh, dan ada juga pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semuanya tergantung dengan kondisi seseorang, beberapa hukum pernikahan dalam islam adalah sebagai berikut:
1. Pernikahan yang wajib hukumnya
Menikah itu wajib bagi seseorang yang mampu secara finansial Dan juga sangat beresiko jatuh kedalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikahlah yang terbaik untuk seseorang yang hampir terjerumus ke jurang zina itu wajib hukumnya. Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya:
Dan yang menciptakan semua berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi ( QS An-Nur : 33)
2. Pernikahan yang sunnah hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda ataupun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif orang yang punya kondisi seperti ini hannyalah di sunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang masih bisa menghalanginya untuk masuk kedalam zina yang di kharamkan oleh Allah SWT.
Bila dia menikah, maka dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibanding dengan dia diam dan tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat islam. Dari Abi Umamah Rasulullah SAW bersabda: Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian manjadi seperti para rahib Nasrani. ( HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan ibnu Abbas ra pernah berkomentar bahwa orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan yang mubah hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum pernikahan baginya adalah mubah.


4. Pernikahan yang makruh hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menukah. Namun jika calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami. Maka tingkat kemakruhannya menjadi lebih besar.
5. Pernikahan yang haram hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia sudah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila didalam dirinya ada kecacatan fisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan manikah haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menukah kecuali pasangannya tau kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal diatas ada lagi sebab-sebab yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita Muslimah yang menikah dengan laki-laki beda agama atau ethis, juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram untuk dinikahi (mahram), wanita yang mempunyai suami, wanita yang sedang masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti nikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalaq. Sehingga menjadi menikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dengan terselesainya pembahasan paper ini  maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pernikahan adalah penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan akad nikah. Pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada wali dari pihak calon pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi, dan ijab qabul. Disamping itu calon pengantin laki-laki memberi mahar atas persetujuan calon istri.
2. Tujuan Pernikahan adalah: Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, Untuk membentengi akhlaq  yang luhur dan untuk menundukkan pandangan, Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, Untuk meningkatkan Ibadah kepada Allah, Untuk memperoleh keturunan yang shalih. Menikah itu tidak hanya sekedar menikah saja tetapi harus dengan tujuan Ibadah.
3. Hukum pernikahan dalam Islam ada yang wajib hukumnya, ada yang sunnah hukumnya, mubah hukumnya, makruh hukumnya, dan Pernikahan yang haram hukumnya. Hukum tersebut berlaku tergantung dengan keadaan seseorang jika seseorang itu ingin menikah tetapi dia belum mempunyai penghasilan sama sekali maka hukum pernikahan tersebut adalah Text Box: 16makruh, begitupun dengan hukum yang lain, karena menikah bukan hanya sekedar menikah tetapi ada hukum-hukumnya.
3.2 Saran
Setelah membaca dan memahami kesimpulan di atas, penulis dapat menyampaikan saran sebagai berikut:
1.      Agar pembaca benar-benar memahami tentang pernikahan.
2.      Para pembaca paper ini dapat dan paham tentang pernikahan dalam islam.
3.      Dapat mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh setelah membaca paper ini.
 Dan mudah-mudahan paper ini dapat menunjang proses belajar para pembaca, dan semoga apa yang kita lakukan untuk kebaikan ini mendapat balasan yang baik pula. Amin













DAFTAR PUSTAKA


Fadhilah, Nur. 2010. Menuju Rumah Tangga Surgawi. Yogyakarta: Genius Publisher

Hamid, Nabil al-Ma’az. 1999. Sucikan Cintamu. Yogyakarta: IN AzNa Books


Thalita, Ufaira Bahir. 2011. 152 Petunjuk Pernikahan dalam Islam. Yogyakarta: Genius Publisher




             

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dengan terselesainya pembahasan paper ini  maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pernikahan adalah penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan akad nikah. Pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada wali dari pihak calon pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi, dan ijab qabul. Disamping itu calon pengantin laki-laki memberi mahar atas persetujuan calon istri.
2. Tujuan Pernikahan adalah: Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, Untuk membentengi akhlaq  yang luhur dan untuk menundukkan pandangan, Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, Untuk meningkatkan Ibadah kepada Allah, Untuk memperoleh keturunan yang shalih. Menikah itu tidak hanya sekedar menikah saja tetapi harus dengan tujuan Ibadah.
3. Hukum pernikahan dalam Islam ada yang wajib hukumnya, ada yang sunnah hukumnya, haram hukumnya, makruh hukumnya, dan Pernikahan yang mubah hukumnya. Hukum tersebut berlaku tergantung dengan keadaan seseorang jika seseorang itu ingin menikah tetapi dia belum mempunyai penghasilan sama sekali maka hukum pernikahan tersebut adalah Text Box: 16makruh, begitupun dengan hukum yang lain, karena menikah bukan hanya sekedar menikah tetapi ada hukum-hukumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar