BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan kata nikah sebagai perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), dan perkawinan.
Pernikahan
adalah penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan akad nikah. Pernikahan
dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada wali dari pihak calon
pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi, dan ijab qabul. Disamping itu
calon pengantin laki-laki memberi mahar atas persetujuan calon istri.
Pernikahan
menurut islam bukan sekedar sarana pemenuhan kebutuhan biologis, tapi sekaligus
bernilai pahala. Pernikahan adalah ibadah yang bernilai besar dan merupakan
separuh dari agama.
Nabi
SAW bersabda: “jika seseorang hamba menikah maka ia telah menyempurnakan
sebagian agamanya, hendaknya ia bertaqwa pada Allah pada sebagian yang lain.”
(HR. Ath Thabrani)
Pernikahan
adalah wajib bagi orang yang mampu dan siap untuk manjalankannya, ada juga yang
mengatakan bahwa menikah itu haram hukumnya jika tidak dengan niat Ibadah. Dan
ada beberapa hukum lagi menurut para ulama’ tentang pernikahan. Menikah itu
bukan hannya sekedar menikah tetapi harus dengan niat Ibadah, banyak remaja zaman
sekarang yang menikah hanya status tetapi didalam ia menjalani pernikahan
tersebut tidak mengerti tentang tujuan dan hukum pernikahan yang benar. Dengan
disusunnya paper yang berjudul Hukum Pernikahan Dalam Islam ini penulis
berharap agar para remaja mengerti tentang pengertian, tujuan, dan hukum
pernikahan dalam Islam agar mereka semua tidak menyimpang dari hukum Islam, dan
penulis berharap semoga paper ini bermanfaat bagi para pembacanya.
1.2
Rumusan masalah
Sehubungan
dengan latar belakang diatas, maka penulis menemukan beberapa rumusan masalah antara
lain:
1.
Apakah pengertian pernikahan?
2.
Apa tujuan pernikahan dalam Islam?
3.
Bagaimana hukum pernikahan dalam islam?
1.3
Tujuan penulisan
Adapun
tujuan penulisan paper yang berjudul Hukum Pernikahan Dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui
pengertian pernikahan.
2.
Mengetahui tujuan pernikahan dalam Islam.
3.
Mengetahui hukum pernikahan dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pernikahan
An-nikah berasal dari kata nakaha-yankihu-nahkan-nikahan, yang bersinonim dengan kalimat zawaj yang berasal dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwij-zawaaj. Lafadz
nikah atau zawaj yang trdapat dalam
Al-Qur’an dan hadis, selalu diartikan dengan kawin atau mengawini. Beberapa
contoh ayat tersebut adalah sebagai berikut:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَقْسِطُوْا
فِي اْليَتَمَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ
مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وَرُبَعَ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَحِدَةً
اَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى اَلّا تَعُوْلُوْا
“
Dan janganlah kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua,tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
“. (An-Nisa’:3)
Dan
juga terdapat dalam surat yang sama (An-Nisa’) ayat 22, yaitu:
وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُمْ
مِّنَ النِّسَاءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفْ إِنَّهُ، كَانَ فَحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيْلاًا
“ Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa’:22)
Nabi
bersabda yang artinya:
Yang artinya: “ Wahai para pemuda,
barangsiapa diantara kamu yang telah mampu, maka kawinlah “. (HR. Jama’ah dari
ibnu Mas’ud)
Sedangkan
arti perkawinan menurut NJ. Aisjah Dachlan dalam bukunya, yang berjudul membina
rumah tangga bahagia dan peranan agama dalam rumah tangga (1969), adalah “Aqad
antara calon istri untuk hidup bersama sebagai suatu pertalian suci antara pria
dan wanita, dimana terdapat suatu persetujuan hubungan akrab, dengan tujuan
menyelenggarakan kehidupan yang akrab pula, guna mendapat keturunan yang sah
dan membina keluarga dan rumah tangga bahagia.”
Namun, Prof. DR. Abu Zahra
mendefinisikan pengertian dengan lebih luas yaitu: Pernikahan itu adalah
suatu aqad persetujuan antara seorang pria dan wanita, yang memfaedahkan halal
pergaulan antara suami istri dan saling membantu antara keduanya, dimana
masing-masing dari keduanya memperoleh hak dan kewajiban.
Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 bab 1 pasal 1 menyatakan, “pernikahan ialah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan wanita, sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan
ke-Tuhanan yang maha Esa.”
Didalam
maqoshidu as-syriah ada yang disebut dengan perlindungan keturunan atau an-nasl,
maka dari itu tuhan mensyariatkan adanya pernikahan, karena dengan adanya
perkawinan akan memelihara kehormatan dan menghindarkan diri dari perbuatan
zina, serta memelihara garis keturunan secara sah menurut agama. sebagaimana
sabda nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya:
“
Hai pemuda-pemuda barangsiapa yang telah sanggup kawin, maka kawinlah, karena
kawin itu dapat menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri “.
Dari
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pernikahan bukan hanya
untuk menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, namun juga
untuk menjaga kehormatan serta memelihara garis keturunan.
Pernikahan
adalah suatu jalan yang halal bagi nafsu birahi, yaitu jalan untuk menenangkan
hati dan jiwa, untuk menyalurkan gairah seks manusia, dan sebagai dasar
pengakuan sah bagi keluarga dan masyarakat. Yang terpenting dari sebuah
pernikahan adalah suatu jalan untuk memperbanyak jumlah orang-orang mukmin,
yang kemudian hari, mereka dapat bersatu dan membuktikan adanya kemampuan
mereka dalam membina keluarga yang saleh, yang dengan baiknya pendidikan tentu
akan lebih banyak yang berbuat baik kepada kedua orangtua dan masyarakatnya.
Pernikahan
dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada calon pengantin laki-laki dan
perempuan, ada saksi dari calon pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi,
ijab qobul, di samping itu calon pengantin laki-laki juga harus memberi mahar
atas persetujuan calon istri.
Apabila
menikah dilakukan dengan adanya saksi, tetapi tanpa sepengetahuan dan
persetujuan ayah atau semisalnya maka itu hukumnya batal. Seperti sabda Nabi SAW,
“ setiap wanita yang menikah dengan tanpa izin walinya,maka nikahnya batal,
nikahnya batal.”
2.2 Tujuan
Pernikahan Dalam Islam
Agama islam menganjurkan manusia jika telah mampu
untuk segera menikah, karena nikah merupakan sunnah nabi dan petunjuknya.
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “nikah itu sunnahku,
barangsiapa yang tidak suka bukan golonganku”. (HR.Ibnu Majah).
Allah
telah berjanji bagi orang-orang yang menikah, bahwa Allah pasti akan
menolongnya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “Tiga
manusia yang Allah pasti akan menolong mereka, diantaranya adalah orang yang
menikah karena ingin menjaga kehormatannya.” (HR.Tirmidzi)
Sesungguhnya didalam pernikahan terdapat rahasia
yang sangat besar sekali, dimana saat terlaksanakannya akad nikah akan
tercapailah kasih sayang yang didapati oleh suami istri, dimana rasa kasih
sayang tersebut tidak bisa didapati diantara dua orang sahabat kecuali setelah
melalui pergaulan yang sangat lama. Makna semacam ini telah disinyalir didalam
firman Allah SWT yang artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah, dia
menciptakan untuk kalian-kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya
kamu condong dan merasa tenteram kepadanya. Dan dia jadikan rasa kasih sayang
diantara kalian,”(QS Ar-Rum:21)
Sesungguhnya,
persoalan menikah ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual saja.
Adapun tujuan pernikahan dalam islam menurut
para ulama’ adalah sebagai berikut:
1. Untuk
Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk
Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya.”[1]
3. Untuk menegakkan Rumah tangga yang Islami
dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam
membenarkan adanya Thalaq(perceraian) jika suami istri sudah tidak sanggup lagi
menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah SAW dalam ayat berikut:
الَطّلاَقُ
مَرّتاَنِ فَأِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْتَسْرِيْحٌبِاِحْساَنٍ وَلاَيَحِلُّ
لَكُمْ اَنْ تَاْخُذُوْامِماَّاَتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْءاًاِلاَّاَنْ
يَّخاَفاَاَلاَّيُقِيْماَحُدُوْدَاللهِ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّيُقِيْماَحُدُوْدَاللهِ
فَلاَجُناَحَ عَلَيْهِماَفِيْماَافْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدُاللهِ
فَلاَتَعْتَدُهاَوَمَنْيَّتَعَدَّحُدُوْدَاللهِ فَاُولَءِكَ هُمُ الظَّلِمُوْن
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepashkan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]
Yakni
keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah SAW dan dibenarkan
rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah
SAW. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat diatas:
فَاِنْ طَلِّقَهاَ فَلاَ تَحِلُّ
لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْ جاً غَيْرَهُ فَاِنْ طَلَّقَها فَلاَ
جُناَحَ عَلَيْهِماَ اَنْ يتَرَا جَعاَ اِنْ ظَنَّ اَنْ يُقِيْماَ حُدُوْدَاللهِ
وَتِلْكَ حُدُوْدُاللهِ يُبَيِّنُهاَ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ
“kemudian
jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian
jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah itulah ketentuan-ketentuan
Allah yang diterangkannya kepada orang-orang yang berpengetahuan.”
[Al-Baqarah:230]
Jadi, hal yang baik
dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah
tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah
tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria
tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.
a.
Kafa-ah menurut konsep Islam
pengaruh buruk matrealisme telah banyak
menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua pada zaman sekarang ini, yang selalu
menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status
sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh, putra-putrinya. Masalah
kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja.
Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius, agama Islam
sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam
hal pernikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha
untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami, InsyaAllah akan terwujud.
Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta
akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan
lain-lainnya. Allah SWT memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab
maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya
melainkan derajat Taqwanya.
b.
Memilih calon istri yang shalihah
seorang laki-laki yang hendak menikah
harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih
laki-laki yang shalih. Sabda Rasulullah SAW yang artinya:”dunia adalah perhiasan,
dan sebaik-baik dunia adalah wanita yang shalihah.”Sebaik-baik wanita adalah
yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami
menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak
disukai suaminya.
4.
Untuk meningkatkan Ibadah kepada Allah
Menurut
konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT.
Dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga
adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih disamping Ibadah
dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami istri pun termasuk
ibadah(sedekah). Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“... Seseorang di antara kalian bersetubuh
dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat
keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita
melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi SAW
menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain
isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya
(di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.”[8]
5.
Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan
pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk
melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah SWT:
والله
جَعَلَ لَكُمْ من انفسكم ازواجاوجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدةورزقكم من الطيبتَ
افبالباطل يؤمنون وبنعمت الله هم يكفرون
“Dan
Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari
yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat
Allah?” [An-Nahl:72]
Tentang
tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai
salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang
meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan
mendasar terhadap kaum muslimin umat islam.
2.3
Hukum Pernikahan Dalam Islam
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan
bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang
bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan
dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh, dan ada juga pernikahan yang haram
untuk dilakukan. Semuanya tergantung dengan kondisi seseorang, beberapa hukum
pernikahan dalam islam adalah sebagai berikut:
1. Pernikahan yang wajib hukumnya
Menikah itu wajib
bagi seseorang yang mampu secara finansial Dan juga sangat beresiko jatuh
kedalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah
wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja
menikahlah yang terbaik untuk seseorang yang hampir terjerumus ke jurang zina
itu wajib hukumnya. Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda
pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang
mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu,
maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana
firman-Nya:
Dan yang
menciptakan semua berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang
ternak yang kamu tunggangi ( QS An-Nur : 33)
2. Pernikahan yang sunnah hukumnya
Sedangkan yang
tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun
masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya
yang masih muda ataupun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif orang yang
punya kondisi seperti ini hannyalah di sunnahkan untuk menikah, namun tidak
sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang masih bisa menghalanginya
untuk masuk kedalam zina yang di kharamkan oleh Allah SWT.
Bila dia menikah,
maka dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibanding dengan dia diam dan
tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah
SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat islam. Dari Abi Umamah Rasulullah
SAW bersabda: Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah
umat. Dan janganlah kalian manjadi seperti para rahib Nasrani. ( HR. Al-Baihaqi
7/78)
Bahkan ibnu Abbas
ra pernah berkomentar bahwa orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak
sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan yang mubah hukumnya
Orang yang berada
pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk
menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah
itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga
tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya pada kondisi tengah-tengah
seperti ini, maka hukum pernikahan baginya adalah mubah.
4. Pernikahan yang makruh hukumnya
Orang yang tidak
punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan
seksual, hukumnya makruh bila menukah. Namun jika calon istrinya rela dan punya
harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk
menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya
bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung
jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar
bagi pihak wanita apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan
ketundukan istri kepada suami. Maka tingkat kemakruhannya menjadi lebih besar.
5. Pernikahan yang
haram hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat
seseorang haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua,
tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia sudah berterus terang sebelumnya
dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga
bila didalam dirinya ada kecacatan fisik lainnya yang secara umum tidak akan
diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan manikah
haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada
persetujuan dari calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular
dimana bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu
dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menukah kecuali pasangannya
tau kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal
diatas ada lagi sebab-sebab yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita
Muslimah yang menikah dengan laki-laki beda agama atau ethis, juga menikahi wanita
pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram untuk dinikahi
(mahram), wanita yang mempunyai suami, wanita yang sedang masa iddah.
Ada juga
pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun. Seperti nikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau
menikah dengan niat untuk mentalaq. Sehingga menjadi menikah untuk sementara
waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dengan
terselesainya pembahasan paper ini maka
penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Pernikahan adalah penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan akad nikah.
Pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada wali dari pihak
calon pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi, dan ijab qabul. Disamping
itu calon pengantin laki-laki memberi mahar atas persetujuan calon istri.
2. Tujuan Pernikahan adalah: Untuk
memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, Untuk membentengi akhlaq yang luhur dan untuk menundukkan pandangan,
Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, Untuk meningkatkan Ibadah kepada
Allah, Untuk memperoleh keturunan yang shalih. Menikah itu tidak hanya sekedar
menikah saja tetapi harus dengan tujuan Ibadah.
3.
Hukum pernikahan dalam Islam ada yang wajib hukumnya, ada yang sunnah
hukumnya, mubah hukumnya, makruh hukumnya, dan Pernikahan yang haram hukumnya.
Hukum tersebut berlaku tergantung dengan keadaan seseorang jika seseorang itu
ingin menikah tetapi dia belum mempunyai penghasilan sama sekali maka hukum
pernikahan tersebut adalah makruh, begitupun
dengan hukum yang lain, karena menikah bukan hanya sekedar menikah tetapi ada
hukum-hukumnya.
3.2
Saran
Setelah membaca dan memahami kesimpulan di atas, penulis dapat menyampaikan
saran sebagai berikut:
1.
Agar
pembaca benar-benar memahami tentang pernikahan.
2.
Para
pembaca paper ini dapat dan paham tentang pernikahan dalam islam.
3.
Dapat
mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh setelah membaca paper ini.
Dan mudah-mudahan paper ini dapat menunjang
proses belajar para pembaca, dan semoga apa yang kita lakukan untuk kebaikan
ini mendapat balasan yang baik pula. Amin
DAFTAR PUSTAKA
http://almanhaj.or.id/content/3232/slash/0/tujuan-pernikahan-dalam-islam/ diakses
tanggal 16 pebruari 2013
http://elfadhi.wordpress.com/2007/03/29/hukum-pernikahan-dalam-islam/ diakses tanggal
22 januari 2013
Fadhilah,
Nur. 2010. Menuju Rumah Tangga Surgawi. Yogyakarta: Genius Publisher
Hamid,
Nabil al-Ma’az. 1999. Sucikan Cintamu. Yogyakarta: IN AzNa Books
Thalita,
Ufaira Bahir. 2011. 152 Petunjuk Pernikahan dalam Islam. Yogyakarta:
Genius Publisher
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dengan
terselesainya pembahasan paper ini maka
penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Pernikahan adalah penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan akad nikah.
Pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukunnya yaitu ada wali dari pihak
calon pengantin perempuan. Calon pengantin, saksi, dan ijab qabul. Disamping
itu calon pengantin laki-laki memberi mahar atas persetujuan calon istri.
2. Tujuan Pernikahan adalah: Untuk
memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, Untuk membentengi akhlaq yang luhur dan untuk menundukkan pandangan,
Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, Untuk meningkatkan Ibadah kepada
Allah, Untuk memperoleh keturunan yang shalih. Menikah itu tidak hanya sekedar
menikah saja tetapi harus dengan tujuan Ibadah.
3.
Hukum pernikahan dalam Islam ada yang wajib hukumnya, ada yang sunnah
hukumnya, haram hukumnya, makruh hukumnya, dan Pernikahan yang mubah hukumnya.
Hukum tersebut berlaku tergantung dengan keadaan seseorang jika seseorang itu
ingin menikah tetapi dia belum mempunyai penghasilan sama sekali maka hukum
pernikahan tersebut adalah makruh, begitupun
dengan hukum yang lain, karena menikah bukan hanya sekedar menikah tetapi ada
hukum-hukumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar