Selasa, 03 Maret 2015

Paper Ilmu Kejawen

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada awal Abad ke 20 ini, kecanggihan dunia modern serta tekhnologi yang berkembang cepat, masih banyak diantara manusia yang peduli bahkan memperdayakan ilmu yang ada dan terkadang sebagian orang tersebut sangat menggeluti didalamnya, padahal ilmu tersebut adalah ilmu yang sulit dilogika akal oleh sebagian manusia. Ilmu tersebut adalah ilmu kejawen.
Ilmu kejawen merupakan hasil budaya masyarakat jawa atau suku jawa yang sudah diukir selama berabad-abad. perkembangan ilmu kejawen pun sangat bervariasi disetiap generasi keilmuaannya. Akan tetapi setelah melihat perkembangan yang sekarang serba modern ini, serta banyaknnya budaya asing yang mempengaruhi keoriginalitas ilmu kejawen tersebut, membuat ilmu kejawen mempunyai sudut pandang berbeda disetiap orang yang mendefinisikan hakikat ilmu kejawen tersebut.
Akar Ilmu kejawen yang berkembang ditengah masyarakat sekarang ini sangat bervariasi bentuknya, sangat banyaknnya variasi ilmu kejawen tersebut membuat bimbang dan kurang mengetahui bentuk mana aliran kejawen yang di perbolehkan dan mana aliran kejawen yang berbenturan dengan norma agama, hukum Negara dan masyarakat secara global. Maka dari itu sudut pandang yang berbeda bisa diambil titik temu dan merupakan hasil final dari poin inti ilmu kejawen itu sendiri.
Salah satu sudut pandang yang paling mengemuka diruang public adalah sudut pandang dari sisi agama Islam, karena berkembangnya opini di masyarakat kita, ada yang mengatakan ilmu kejawen itu syirik, kufur dan bid’ah, tapi ada sebagian dari orang Islam yang mendalami kejawen memberikan opini bahwa ilmu kejawen merupakan hasil kulturasi yang di sinergikan antara budaya jawa dengan kandungan atau kisi - kisi keislaman sebagai bentuk syiar agama islam seperti yang telah di ajarkan oleh para walisongo.
Peneliti menganggap penting untuk mengungkap kejanggalan serta mempunyai himmah yang tinggi untuk mengungkap poin-poin penting dari ilmu kejawen dengan paradigma yang berbeda serta sudut pandang yang berbeda. Maka dari itu peneliti mengambil judul “Ilmu Kejawen dalam Presfektif Islam”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengertian dari ilmu kejawen itu?
2.      Apa sajakah bentuk atau macam ilmu tersebut?
3.      Bagaimanakah pandangan islam tentang ilmu kejawen?
4.      Dan apa keterkaitan antara kejawen, islam, dan agama?
C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu kejawen.
2.      Untuk mengetahui macam-macam ilmu kejawen.
3.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang kejawen.
4.      Untuk mengetahui keterkaitan atau kesamaan kejawen, Islam, dan agama.
D.      Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1.    Metode Analisis Deskriptif
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang diupayakan mencandra atau mengamati permasalahan secara sistematis dan akurat mengenai fakta dan sifat obyek tertentu. Penelitian deskriptif ditujukan untuk memaparkan dan menggambarkan dan memetakan fakta-fakta berdasarkan cara pandang atau kerangka berfikir tertentu. [1]
Menurut Whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengeruh-pengaruh dari suatu fenomena.[2]
Pada hakikatnya, setiap penyelidikan mempunyai sifat deskriptif dan senantiasa melakukan proses analitik. Akan tetapi, pada metode deskriptif ini, proses deskripsi dan analisis mendapat tempat yang sangat penting. Sebuah deskripsi dipandang sebagai represensi objektif dari permasalahan yang diselidiki, sedangkan analisis deskriptif dipandang sebagai penjelasan ilmiah yang menggunakan cara berfikir, cara pengupasan, dengan refrensi dan titik tolak teori tertentu.[3]
2.    Content Analysis atau Analisis Data
Ricard Budd mengemukakan bahwa analisis isi adalah teknik sistetis untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau alat untuk mengobservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang terpilih.[4]












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Kejawen
Kejawen adalah kata bentukan yang berasal dari kata ke+jawi+an, dan diucapkan Kejawen. Dalam kamus bahasa Jawa Kuna, entri Kejawen berarti menjadi orang Jawa atau ke Jawa-jawa an (menyerupai orang Jawa). Sedangkan kata Jawi itu sendiri dalam kamus bahasa Jawa baru berarti kata halus (krama) dari kata Jawa, yang artinya orang atau bahasa Jawa.
Meskipun tidak ada istilah kejawen (sebagaimana dipahami orang-orang selama ini) dalam berbagai kamus Jawa, namun sudah menjadi pendapat umum bahwa Kejawen adalah sebuah ajaran/pengetahuan tentang olah batin yang bersumber dari ajaran-ajaran para leluhur orang Jawa.

B.     Macam-macam Ilmu kejawenIlmu kejawen Istilah tersebut mungkin sudah sering kita dengar, khususnya bagi masyarakat Jawa. Kejawen, adalah suatu rangkuman dari berbagai ilmu tentang Keyakinan, filsafat, adat budaya, ataupun mistik khas suku jawa. Tetapi Kejawen juga bisa beradaptasi/menerima aliran lain yang intinya masih sejalur, contohnya yaitu adanya istilah Islam kejawen. Kejawen memang belum tentu semua Baik, tapi kita jangan pula gegabah menilai bahwa seorang penganut aliran kejawen tersebut adalah Musyrik, bid'ah, kafir atau sesat. Saudaraku dalamnya Laut mudah diselami, tapi dalamnya Hati dan ilmu seseorang sangat sulit diukur pasti. Para penganut Islam kejawen biasanya adalah Ahli dalam hal olah Rasa dan lelaku prihatin seperti Puasa, mutih, ngrowot, melek malam dzikir/wirid dll. Diantara mereka tersebut ada yg bertujuan sekedar demi mendapat Ilmu kesaktian, tapi ada juga yang tujuannya sangat dalam, karena menyangkut soal Ibadah, yaitu hubungan diri manusia dengan Alläh sang Maha pencipta. Sikap atau kata-kata para penganut kejawen terkadang memang sulit kita cerna dengan logika. Malah adapula seseorang yang kata-katanya kasar atau sok pinter. Dengan sikap orang yang demikian tadi, janganlah kita membantah secara frontal, tapi bersikaplah agak merendah/pura-pura bodoh, dan tetap sopan.
Berikut adalah klasifikasi ilmu berdasarkan fungsinya menurut Erlangga. Mungkin orang lain membuat klasifikasi yang berbeda dengan klasifikasi menurut Erlangga. Hal tersebut bukan masalah karena memang tidak ada rumusan baku tentang klasifikasi ilmu kejawen.
1.    Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal
Ilmu kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Contohnya ilmu Asma’ Baja, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas dll.[5]
2.    Ilmu Kawibaan dan Ilmu Pengasihan
Inilah ilmu supranatural yang fungsinya mempengaruhi kejiwaan dan perasaan orang lain. Ilmu Kewibaan dimanfaatkan untuk menambah daya kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan. Orang yang menguasai Ilmu Kewibawaan dengan sempurna akan disegani masyarakat dan tidak satupun orang yang mampu melawan perintahnya apalagi berdebat. Bisa dikatakan bila Anda memiliki ilmu ini Anda akan mudah mempengaruhi dan membuat orang lain nurut perintah Anda tanpa berpikir panjang.[6]
Sedangkan Ilmu Pengasihan atau ilmu pelet adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah cinta, yakni membuat hati seseorang yang Anda tuju menjadi simpati dan sayang. Ilmu ini banyak dimanfaatkan pemuda untuk membuat pujaan hati jatuh cinta padanya. Ilmu ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat lawan yang berhati keras menjadi kawan yang mudah diajak berunding dan memulangkan orang yang minggat. Contoh: ajian jaran goyang, ajian semar mesem, dsb.
3.    Ilmu Trawangan dan Ngrogosukmo
Jika Anda ingin tahu banyak hal dan bisa melihat kemana-mana tanpa keluar rumah, maka kuasailah ilmu trawangan. Ilmu trawangan berfungsi untuk menajamkan mata batin hingga dapat menangkap isyarat yang halus, melihat jarak jauh, tembus pandang dan lain-lain. Sedangkan Ilmu Ngrogosukmo adalah kelanjutan dari Ilmu Trawangan. Dalam ilmu trawangan hanya mata batin saja yang berkeliaran kemana-mana, sedangkan jika sudah menguasai ilmu ngrogosukmo seseorang bisa melepaskan roh untuk melakukan perjalanan kemanapun dia mau. Baik Ilmu Trawangan maupaun Ngrogosukmo adalah ilmu yang tergolong sulit dipelajari karena membutuhkan keteguhan dan kebersihan hati. Biasanya hanya dikuasi oleh orang yang sudah tua dan sudah tenang jiwanya.[7]
4.    Ilmu Khodam
Seseorang disebut menguasai ilmu khodam bila orang yang tersebut bisa berkomunikasi secara aktif dengan khodam yang dimiliki. Khodam adalah makhluk pendamping yang selalu mengikuti tuannya dan bersedia melakukan perintah-perintah tuannya. Khodam sesungguhnya berbeda dengan Jin / Setan, meskipun sama-sama berbadan ghaib. Khodam tidak bernafsu dan tidak berjenis kelamin.[8]
5.    Ilmu Permainan (Atraksi)
Ada ilmu supranatural yang hanya bisa digunakan untuk pertunjukan di panggung. Sepintas ilmu ini mirip dengan ilmu kanuragan karena bisa memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam, minyak panas dan air keras. Namun ilmu ini tidak bisa digunakan untuk bertarung pada keadaan sesungguhnya. Contoh yang sering kita lihat adalah ilmunya para pemain Debus.
6.    Ilmu Kesehatan
Masuk dalam kelompok ini adalah ilmu gurah (membersihkan saluran pernafasan), Ilmu-ilmu pengobatan, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan dengan fungsi bilologis tubuh manusia.
C.    Pandangan Islam Tentang Ilmu Kejawen
Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun istilah di dalam Al-Quran dan Al-Hadist tidak ditemukan penjelasan tentang kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para Wali Songo ke Tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika itu para Wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukan unsur budaya dan tradisi Jawa agar mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Menurut Dosen Komunikasi Antar Budaya, Universitas Mercu Buana, Sofia Aunul, kejawen sangat berbeda dengan ajaran islam. Istilah kejawen Islam muncul setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam. Mereka (Wali Songo) memasukkan unsur tradisi dan budaya untuk memudahkan penyeberan agama Islam. “Kejawen dan Islam adalah wujud sinkretisasi yang pada akhirnya menjadi tradisi yang dijalankan oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.”
Bambang Syuhada seorang Ustadz yang memiliki perhatian khusus terhadap penyimpangan akidah mengatakan. Kejawen tidak jelas asalnya, banyak yang mengatakan kejawen muncul pertama kali setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa. Kala itu Sunan menyebarkan agama lewat pementasan  wayang dan seni tradisi masyarakat Jawa. Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya Jawa dan Islam sehingga muncul istilah kejawen. “Namun, penjelasan itu juga tidak banyak disediakan dalam litelatur sejarah.”
Masih Menurut Bambang Syuhada, ritual yang dilakukan masyarakat kejawen dalam aplikasi dikehidupannya harus dilihat lebih dalam, Karena ritual-ritual tersebut dikhawatirkan pada akhirnya menyimpang dari ajaran agama Islam. “Dalam kaidah Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi Tauhid itu menjadi haram, namun jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktek-praktek muamalah itu dibolehkan,”  tutur Bambang Syuhada yang ditemui di Klinik Asy-Syifa miliknya di kawasan Tangerang.
إِذَا اسْتَجْنَحَ اللَّيْلُ  أَوْ كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ  فَكُفُّوا صِبْيَا نَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ تَنْتَشِرُ حِيْنَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ الْعِشَاءِ فَخَلُّوهُمْ، وَأَغْلِقْ بَابَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ الله… الْحَدِيْثَ
“Apabila malam telah datang (setelah matahari tenggelam), tahanlah anak-anak kalian, karena setan bertebaran ketika itu. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu ‘Isya lepaskanlah (biarkanlah) mereka, tutuplah pintumu, dan sebutlah nama Allah (mengucapkan bismillah).” 
Ada tradisi kejawen yang diperbolehkan dalam agama dan terdapat pula dalam  Hadist Bukhori. Pada saat adzan Maghrib, anak-anak disuruh untuk masuk ke dalam rumah dan diajak ke Mushola karena pada saat Maghrib setan dan iblis berkeliaran. Namun, ada juga tradisi seperti mencegah bala, arung laut yang oleh masyarakat penganut kejawen dicampur dengan bacaan Shalawat Nabi, Surat Yasin dan Tahlil. “Sebetulnya Salawat Nabi, bacaan surat Yasin, dan Tahlilnya tidak menjadi soal, namun jika semua itu dicampur adukan ke dalam ritual kejawen seperti memberi sesajen menjadi tidak sah, sebab semua itu dipersembahkan untuk yang lain (selain Allah-)” papar Ustadz Bambang Syuhada.
Mengakarnya ritual-ritual kejawen yang menjadi tradisi ini bukan tidak mungkin menimbulkan gesekan (konflik) di masyarakat, pasalnya kondisi ini menyentuh ranah budaya dan agama yang diyakini masing-masing orang. Ustadz Bambang Syuhada mengatakan, dibutuhkan peranan ulama-ulama yang berpengaruh di masyarakat untuk memutus mata rantai bid’ah. “Barangsiapa mengadakan hal baru dalam urusan agama, yang tidak ada landasan hukumnya, Maka ia tertolak” (HR. Bukhori dan Muslim).
Para Salafush Solih pun melarang kita untuk mendekati bid’ah. Namun masalah kejawen dan segala ritualnya yang telah membudaya harus disikapi dengan lembut dan bijak, karena kondisi ini telah mengakar dan menjadi tradisi turun-temurun. Mulailah dengan jalan menasehati keluarga dan orang-orang terdekat dengan cara yang baik. Ini masalah sensitf, penyampaiannya tidak bisa dengan frontal, harus pelan-pelan karena banyak resikonya maka kita juga harus bersikap hikmah.
D.    Keterkaitan Kejawen, Islam dan Agama
Berdasarkan hasil studi karya seni sastra Jawa abad XVIII yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Zoetmulder (Manunggaling Kawula Gusti, 1995), Simuh (Mistik Islam Kejawen, 1988), dan Niels Mulder (1985), Kejawen merupakan perkawinan tradisi Islam dengan Hindu – Buddha Jawa. Ajaran Kejawen itu sendiri tidaklah statis, tetapi terus menerus reseptif terhadap ajaran agama apapun yang masuk ke lingkungan keraton-keraton Jawa dan Sunda sejak abad XVI.
Islam sendiri, bila di telusuri dari sumbernya yang sah – Alqur’an- merupakan Din yang bermakna kedamaian. Islam adalah Din, bukan religi. Din adalah jalan hidup (yang dalam ajaran Islam berasal dari Allah Swt), sedangkan religi adalah tata cara ritual. Dalam perjalanannya, Din Islam ini terpecah menjadi religi-religi, terpecah menjadi puluhan golongan, diantaranya adalah Sunni, Syi’ah dan Wahabiyah. Sedangkan Sunni terbagi lagi menjadi beberapa madzhab besar seperti Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Kata Agama, sebenarnya di mata saya kurang tepat bilamana di tempatkan di depan kata Hindu, Buddha, Kristen/Katholik, Islam, Sikh dan lain sebagainya. Kata agama dalam bahasa Jawa Kuna merupakan bentukan dari a (tidak) + gama (kacau), yang berarti aturan, tuntunan, yang ditetapkan oleh Negara/Kerajaan agar teratur dan tidak kacau. jadi semestinya, orang yang beragama adalah orang yang mematuhi aturan, mematuhi hukum dan undang-undang Negara. Oleh karenanya, jika dilihat dari arti kata agama dan din itu sendiri, sungguh itu tidak sesuai di mata saya, karena seperti yang saya tulis sebelumnya di atas, din adalah sebuah jalan hidup dari Allah Swt, dan bukan aturan/undang-undang Negara. Oleh karena itu juga, di Nusantara dulu tidak dikenal istilah Agama Hindhu, Agama Buddha. Dalam khazanah budaya Jawa dulu, Hindu dan Buddha disebut dharma, yang artinya kewajiban, tugas hidup, kebenaran. Namun dalam kamus Jawa Kuna, entri kata Hindu tidak ada, karena dharma yang masuk ke Nusantara pada zaman dahulu adalah dharma Syiwa, dharma Wisnu dan dharma Buddha. Bahkan dharma-dharma yang masuk ke kepulauan Nusantara itupun mengalami penyesuaian diri setelah berinteraksi dengan dharma asli Nusantara.
Disitulah maka jaman dahulu ada semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”, berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua. Semboyan yang terkenal pada jaman Majapahit ini menggambarkan, bahwa apapun dharma orang tersebut, mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dari Negara/Kerajaan.
Keadaan tersebut menjadi berubah ketika berdiri Kerajaan Demak Bintara yang menggunakan dharma Islam menjadi undang-undang di kerajaan tersebut. Islam tidak lagi disamakan dengan dharma-dharma yang lain. Dengan kata lain, dengan Islam diangkat sebagai undang-undang negara, maka gugurlah semboyan kebinekaan tersebut. Pluralisme yang menjadi tonggak kehidupan yang berlain-lainan dharmanya itu sirna. Sebab, semua warga negara harus mematuhi undang-undang negara, sedangkan yang dijadikan undang-undang itu adalah “Islam”.
Setiap warga negara Kesultanan Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja, agama ageming aji, agama adalah nilai-nilai yang digunakan oleh raja. Oleh karena itu, terjadilah penaklukan termasuk konversi dharma yang dipeluk warganya  oleh Kesultanan Demak terhadap kadipaten-kadipaten yang masih setia kepada Majapahit. Sistem penaklukan dharma ini di kemudian hari dilanjutkan oleh Belanda ketika menjajah Kepulauan Nusantara. Bahkan Belandalah yang menempatkan ulama-ulama dan aliran dari Timur Tengah di kerajaan-kerajaan di Nusantara yang telah dikuasainya. Akibatnya, terjadilah penaklukan dan pemberantasan oleh aliran yang baru masuk terhadap aliran yang sudah mapan di suatu kerajaan, misalnya pemusnahan pengikut Hamzah Fansuri di Aceh oleh kelompok Nuruddin ar-Raniri, pemberantasan pengikut Syamsyuddin Sumatrani dan pelaku dharma tradisional oleh kaum Wahabi di Sumatra Barat, dan lain-lainnya.
Sedangkan Kejawen sendiri, dari awal senantiasa bersifat reseptif, bisa menerima apapun yang masuk ke Kepulauan Nusantara ini, dan itu tampak jelas dari ritual-ritual yang dilakukan penganut dharma-dharma yang ada di Indonesia saat ini, di antaranya acara-acara selamatan, mitoni, patangpuluhdinanan, nyatus, nyewu dlsb. Sehingga di mata saya, Kejawen bukanlah sinkretisme dari dharma-dharma yang masuk ke kepulauan Nusantara, namun justru sebaliknya, dharma-dharma yang masuk ke kepulauan Nusantara itulah yang menyesuaikan diri dengan Kejawen, dengan kondisi Nusantara pada saat itu.
Dari situlah awalnya, hingga kemudian muncul istilah nrima ing pandum, menerima kehendakNya, setelah sebelumnya menemukan sendiri pandum tersebut. Jadi kata nrima ing pandum ini sebenarnya bersifat aktif progresif, bukan pasif. Aktif progresif, menemukan dahulu pandumnya, jika memang sudah ketemu dan pandum tersebut memang menunjukkan demikian, barulah mau menerima.
Kebudayaan spiritual Jawa yang disebut Kejawen, dalam pandangan saya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Percaya bahwa hidup di dunia ini merupakan titah dari Tuhan Yang Mahakuasa, hingga selalu mengolah rasa, mengolah batin untuk mencapai kesempurnaan hidup, meruhi sangkan paraning dumadi. Meruhi sendiri, bukan hanya sekedar mendengar cerita dari orang lain atau kabar dari orang lain yang belum jelas kebenarannya.
2.      Orang Jawa juga percaya adanya kehidupan lain di luar kehidupan di dunia ini, hal-hal gaib yang berada di luar diri.
3.      Orang-orang Kejawen percaya dan sangat menghargai arwah para  leluhur, sehingga sering dalam waktu-waktu tertentu mengadakan ritual-ritual khusus dalam rangka menghormati dan menghargai para leluhur.


[1] Ibid ,hlm.100
[2] Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bandung: Ghalia Indonesia, t.t), hlm.54-55
[3] Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan hlm.101
[4] Ibid, hlm.104
[5] Ki wongso indrajit, Kumpulan Ilmu Kanuragan Tingkat Tinggi (Surabaya: pustaka bintang  timur, 2001),38.
[6] Purwadi. Semar Mesem Hikayat Ilmu Pengasihan Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2006), 79.
[7] Ibid, 40
[8] Perdana akhmad, kesaksian para praktisi ilmu metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2009), 89.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar